Review Novel "Bitter Winner"

Penulis : Mita Miranti
Penerbit: Gagasmedia
Tebal: 285 hlm
Tahun : 2015 (cetakan pertama)
Editor: Prisca Primasari & Tesara Rafiantika

Waktu Gagasmedia pertama kali menerbitkan novel-novel pemenang lomba 7 Deadly Sins, aku membeli novel “Beautiful Liar” karena tertarik dengan judulnya. Dan selanjutnya, aku begitu tertarik ingin membaca novel Mbak Mita Miranti ini karena tertarik dengan kovernya. Senang sekali rasanya berkesempatan untuk membaca “Bitter Winner”.

Novel ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Audrina yang baru lulus dari SMA. Ia memiliki satu-satunya teman dekat bernama bernama Bastian yang sangat peduli dan sayang padanya. Bertahun-tahun ia berusaha hidup sebagai anak yang manis dan penurut, semata-mata supaya ia tidak mendapatkan masalah dan hidup dengan aman. Namun dalam hati, Audri menyimpan kebencian kepada Ibu tirinya, mendambakan kasih sayang Papanya sekaligus merindukan Mama dan adik yang terpisah darinya sejak kecil.

“Apa untungnya cepat puas dengan sedikit bagian kalau kita bisa memiliki bagian yang lebih banyak? Kenapa harus berpuas diri dengan satu perhatian saja, sedangkan masih banyak orang-orang di sekitar kita?”

Tak ada yang menyadari kalau Audri tertekan dengan semua itu. Ia bahkan tak bisa merencanakan masa depannya sendiri karena harus menuruti keinginan Papanya. Audrina selalu mencoba mencari perhatian dengan berbagai cara. Kalau perlu ia akan berbohong agar orang-orang menaruh simpati dan kasihan padanya. Sampai akhirnya, ia menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Mama dan adiknya. Sesuatu yang bisa membawanya untuk kembali berkumpul dengan mereka dan mungkin bisa membawanya keluar dari kehidupan lamanya yang memuakkan.

Sejak membuka halaman awal novel ini, pembaca pasti akan mulai menebak-nebak, karakter apa yang akan diperankan tokoh utama novel ini. Salah satu keistimewaan seri #7DeadlySins adalah akan ditemukannya berbagai sifat dan karakter tokoh yang tidak biasa, unik dan berbeda dari novel kebanyakan.

Di halaman pertama, pembaca pasti tahu kalau Audrina ini memiliki sifat serakah. Ia juga haus pujian, gemar cari perhatian dan selalu menciptakan kebohongan-kebohongan agar hidupnya terlihat mengenaskan dan orang akan bersimpati padanya. Karakter tokoh seperti ini membuatku penasaran dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Karena jujur saja, pikiran Audrina kadang-kadang tak bisa ditebak.
Konflik keluarga yang ditawarkan novel ini dikemas dengan baik. Aku ikut merasakan kerinduan Audrina terhadap keluarganya dan ikut tegang menjelang pertemuan mereka. Aku juga bisa merasakan bagaimana perasaan Audrina terhadap perlakuan ibu tirinya. Meskipun jahat, tapi kalian tidak akan menemukan adegan-adegan penyiksaan seperti apa yang biasa ditemukan dalam sinetron.

Latar tempat yang dipilih penulis benar-benar membuatku merindukan kampung halaman. Penulis menggambarkan Makassar dengan cukup apik, dalam hal bahasa, makanan dan beberapa tempat. Meskipun tidak begitu detail, namun memang hanya itulah yang dibutuhkan oleh novel ini untuk membangun plotnya.

Terkait bahasa, aku menemukan kesalahan penulisan catatan kaki yang baru dituliskan setelah beberapa kali tokoh Chali menyebutkan kata tersebut. Selain itu, aku merasa agak aneh dengan Nenek, Mama dan Dhita yang sama sekali tidak menggunakan logat/dialek makassar. Sebab agak ganjil rasanya kalau Chali adalah satu-satunya orang yang berinteraksi dengan Audrina di Makassar dan tetap menggunakan logatnya.

 Penulis berhasil menggambarkan perubahan karakter Audrina yang tadinya tidak memiliki seseorang yang benar-benar dipercayainya, menjadi sosok yang mulai peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Sedangkan untuk Bastian, aku menyayangkan perubahan karakter Bastian menjelang ending menurutku terlalu tiba-tiba. Agak tidak sesuai dengan sikap yang ditunjukkannya selama ini. Padahal aku berharap ada sedikit penjelasan di bagian ini meskipun bukan merupakan bagian paling penting. Kemudian adegan saat perpisahan Audrina saat akan kembali ke Jakarta. Kupikir adegan ini bisa lebih emosional mengingat perjuangan Audrina untuk menemui mereka.

 Untuk ending, aku menyukai penyelesaian masalah yang dipilih penulis. Memberikan semacam pemahaman kepada pembaca tentang arti sebuah penerimaan dalam keluarga. Aku menutup novel ini dengan puas. Meskipun ada pertanyaan yang tidak terjawab, tapi aku merasa bisa mengabaikannya karena lega dengan penyelesaiannya. Rasanya tidak sabar membaca karya penulis selanjutnya.

 “Bagaimanapun Mama-Papa adalah orang tuaku yang akan menyayangiku tanpa syarat. Cinta paling tulus yang mungkin bisa kutemukan. Lalu, apalagi yang harus kutuntut? Bukankah selayaknya cinta memang begitu?”

Bagi penyuka novel-novel yang mengangkat tema keluarga, sepertinya kalian juga akan menyukai novel ini 

(Review Novel) Ketika Tak Memilih adalah Satu-satunya Pilihan



Judul Buku : Kania
Penulis : Hapsari Hanggarini
Penyunting: Sasa
Penerbit : Moka Media
Tebal : 304 Halaman
Tahun Terbit: 2014


Novel ini dibuka dengan sebuah adegan yang menunjukkan kekesalan Kania akibat perintah Agus yang menurutnya semena-mena. Pada kenyataannya, Kania diam-diam menyimpan perasaan kepada rekan kerjanya itu, namun sekarang ia malah memiliki firasat bahwa Agus memiliki rencana terselubung untuk menjodohkan dirinya dengan salah seorang klien mereka di Yogyakarta yang bernama Danang.

Danang adalah seorang pria dingin-menyebalkan dengan masa lalu yang lumayan menyedihkan. Kegagalan hubungan percintaannya dengan seorang gadis yang telah mengkhinanati kepercayaannya, membuat Danang enggan membuka hatinya untuk orang lain. Selama ini ia selalu menutup diri sampai kemudian kemunculan Kania membuatnya berpikir ulang untuk mulai membuka hatinya untuk seseorang. Ketertarikan itu bermula dari kebiasaan-kebiasaan kecil Kania yang ternyata lumayan mirip dengan mantan kekasihnya.

Inti permasalahan yang kemudian muncul di tengah-tengah cerita adalah saat ibunda Kania (Amih) menunjukkan tanda-tanda penolakan saat Kania menceritakan tentang Danang. Kania teringat bahwa raut wajah seperti itu  pernah ditunjukkan Amih saat Teh Anis, kakak perempuan Kania menikah dengan seorang Jawa.  Di sinilah pergolakan batin Kania terjadi dan membuatnya harus memilih antara menjaga perasaan Amih, mengikuti kata hatinya, atau kembali pada cinta lama yang diam-diam masih sering muncul dan mengganggu pendiriannya.

Sinopsisnya sampai di sini saja sebelum aku tergelitik untuk menulis lebih banyak lagi hingga membocorkan beberapa rahasia yang disembunyikan dalam novel ini. Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbak Hapsari atas kiriman buku berkover cantik ini. Senang sekali akhirnya bisa membaca tulisan Mbak J

Sebetulnya dengan membaca blurb di kover belakang buku, pembaca sudah bisa mendapat beberapa gambaran tentang isi cerita yang ditawarkan novel ini. Malah menurutku blurb-nya agak-agak spoiler karena pembaca akan tahu kapan rahasia tersebut bakal terungkap, meskipun itu sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah.

Aku tertarik dengan premis yang ditawarkan novel ini. Tadinya kupikir penulis akan banyak mengeksplor benturan budaya antara Jawa dan Sunda yang kelak akan menjadi fokus novel ini tapi ternyata aku salah. Gaya menulis Mbak Hapsari lumayan enak diikuti disertai dengan guyonan-guyonan ringan –kadang-kadang dengan bahasa sunda- yang beberapa kali bikin cengar-cengir sendiri. Aku menyukai bagaimana penulis menggambarkan sosok Amih dan hubungan antara wanita tersebut dengan Kania. Suasana kekeluargaan yang begitu kental dan kehangatan rumah yang membuatku ingin segera pulang kampung.

Sosok Agus yang kepo dan sotoy juga menarik perhatianku, Bagaimana dia menjaga komitmen dan juga sekaligus menyayangi Kania membuatku simpati. Selain itu aku bisa merasakan pergolakan batin yang dirasakan Kania, apalagi mengingat apa yang telah dirasakan Amih saat pernikahan Teh Anis. Pesan moral yang ingin disiratkan penulis cukup mengena dan membuatku berpikir ulang tentang beberapa hal mengenai pernikahan, komitmen dan juga hubungan kekeluargaan. Terima kasih sudah mengingatkan.

Namun selain itu, aku menemukan beberapa kejanggalan yang membuatku menurunkan rating novel ini. Pertama, karakter Danang dan Kania yang menurutku berubah-ubah dengan cepat dan tidak konsisten. Entah kapan tepatnya mereka saling tertarik, tidak ada alasan yang cukup kuat mengingat hubungan mereka tidak terlalu baik di awal-awal cerita. Lalu permasalahan yang muncul tiba-tiba dalam hubungan Agus-Rita rasanya terlalu tiba-tiba, tanpa ada sesuatu yang mengindikasikan hal tersebut. Dan rasanya ada kontradiksi antara awal dan menjelang ending mendengar pengakuan Agus, sebab dia pernah mengatakan bahwa perasaannya pada Kania muncul seiring dengan waktu saat mereka mulai sering bertemu karena menjalankan bisnis bersama.

Terakhir, entah kenapa aku gagal paham dengan endingnya. Setelah apa yang terjadi, setelah adanya tulisan-tulisan di dalam diary, dan setelah Kania akhirnya menyadari perasaannya, bagaimana mungkin dia kembali mempertimbangkan nama seseorang hanya karena Amih mulai kembali menanyakannya. Dan seperti apa yang dikatakan Danang, dia seperti tidak melakukan perjuangan apapun. Agus pun begitu, bagaimana bisa dia menawarkan bantuan untuk menjadi mak comblang setelah adanya pengakuan itu. Agak aneh dan tidak konsisten menurutku, padahal menuju ending aku sudah tersenyum memikirkan kemungkinan ending yang akan dipilih penulis. Ah, sepertinya ada unsur ‘selera pembaca’ yang bermain di sini.

Meskipun ada beberapa kekurangan, tetapa aku menikmati membaca novel ini. Terlebih hubungan ibu dan anak yang digambarkan penulis dengan cukup baik. Aku akan menantikan tulisan-tulisan Mbak Hapsari selanjutnya, semoga di novel selanjutnya aku akan lebih menyukai endingnya.